Sunday, November 1, 2009

Odong-Odong dan Keceriaan Anak



Odong-odong, sebuah permainan yang populer bagi warga, terutama anak-anak, yang tinggal di periferi Jakarta. Akan mudah ditemui lelaki berkulit gelap menggenjot odong-odongnya yang berwarna cerah keliling dari kampung ke kampung, menelusuri gang sempit, yang tidak jarang mesti berdesakan dengan motor maupun gerobak sayur. Tidak mungkin baginya masuk ke perumahan elit yang berportal dan berpenjaga ketat. Selain dilarang masuk, adakah orang tua di hunian elit yang mengijinkan anaknya bermain di mainan murah dan tak berkelas itu?

Odong-odong merupakan modifikasi dari sebuah becak kayuh. Bagian depan biasanya disulap menjadi empat tempat duduk – berjajar dua – dengan bermacam bentuk yang lucu, bebek, ayam, kuda, jerapah, gajah dan motor. Bagian belakang masih berbentuk seperti becak, dengan sadel busa, pedal dan sistem rantai sebagai penggerak. Ada tambahan satu tuas yang berfungsi untuk mengatur kemana tenaga kayuh dialirkan. Di saat berkeliling, tuas berbahan besi itu menghubungkan pedal kayuh dengan roda. Ketika rejeki datang dan anak-anak nangkring di atas mainan, tuas dipindah posisinya untuk menghubungkan pedal dengan mainan. Jadilah empat anak-anak bergoyang seirama dengan lagu ceria yang diperdengarkan dari tape mobil yang dipasang dibawah atap terpal.

Mengapa odong-odong begitu disukai anak-anak dan orang tuanya? Faktor utamanya jelas, karena murah meriah. Bagi warga kebanyakan, hanya angan belaka bisa membawa anak mereka bermain di Dufan. Terasa minder juga membawa anak-anak bermain di Mall of Indonesia nan megah yang menyediakan beragam permainan. Dengan odong-odong, hanya merogoh kocek seribu, orang tua bisa mendiamkan anaknya yang rewel. Dengan selembar uang seribuan, anak-anak bisa duduk bergoyang mengikuti irama genjotan kaki tukang odong-odong. Dengan seribu rupiah, orang tua sudah bisa membahagiakan anak dan sejenak melupakan beban hidupnya.

Sabtu, 24 Januari 2009, awan mendung menggelayuti daerah Pasar Rebo. Meski baru jam sebelas pagi, tapi suasananya bagaikan menjelang maghrib. Kebetulan keponakan yang baru berusia menjelang 3 tahun sedang berada di rumah simbah, mertua saya, tempat dimana saya tinggal bersama istri. Rosa, demikian keponakan saya biasa dipanggil, sedang bermain di kolam ikan di halaman depan. Seperti biasa, kehadiran Rosa menjadi pusat perhatian semua anggota keluarga. Rasa ingin tahu yang besar membuatnya tiada henti bertanya tentang hal baru yang ditemui, tentang apa saja yang dilihanya di kolam dan halaman rumah. Tentang ikan, kura-kura, burung, keong, semut, laba-laba. Mulutnya seolah tak pernah lelah berucap, bertanya, bercerita, dan sekali-sekali merajuk. Kelucuan dan kepolosan yang tanpa dibuat-buat mengundang kegemasan siapapun yang melihanya.

“Potong bebek angsa, angsa di kuali. Nona minta dansa, dansa empat kali…” Samar-samar dari jauh terdengar lagu Potong Bebek Angsa. Spontan si kecil Rosa berteriak dengan suaranya yang masih cadel, “Odong-odong. Ocha mau naik odong-odong.” Tanpa diminta, Rosa langsung mencari sandal dan beranjak menuju ke jalan, atau tepatnya gang, di depan rumah bersama simbah, bulik dan om-nya. Abang tukang odong-odong sudah standby di depan rumah. Beberapa anak kecil dari tiga penjuru berdatangan. Ada yang digendong ibunya, ada yang berlari kencang sampai ibunya tergopoh-gopoh mengejar. Karena kapasitas odong-odong hanya untuk empat anak, abang odong-odong pun ikut sibuk mengatur supaya tertib antri.

Rosa memilih duduk diatas bebek. Anak-anak lain memilih tempat yang disukainya. Mulailah si abang menggenjot. “Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali….” Bebek, gajah, kuda dan motor bergoyang seirama dengan lagu anak-anak yang suaranya agak cempreng. Maklum, hanya memakai recorder seadanya. Lagu pertama usai, langsung secara medley masuk ke lagu kedua, “Dondong opo salak, duku cilik-cilik…”. Anak-anak, saking terbiasanya naik odong-odong, sudah hapal dengan lirik lagu-lagu itu. Ada yang ikut bernyanyi, walau suaranya tidak jelas. Ada yang mengangguk-angguk sambil tertawa, entah apa yang ditertawakan. Tapi yang jelas, semua gembira. Lagu ketiga langsung menyambar begitu lagu kedua usai, “Pada hari minggu kuturut ayah ke kota…”. Rosa pun ikut bergumam, “tuk tik tak tik tuk suara sepatu kuda.”

Berakhirnya lagu ketiga, berakhir pula goyangan senilai seribu rupiah tersebut. Rombongan pertama turun, rombongan kedua berganti menaiki odong-odong. Lagu anak-anak dan lagu daerah mengalun bergantian, hingga tiga lagu usai. Kegembiraan terpancar di wajah semua anak yang berkumpul di sekitar odong-odong.

Teringat dalam benak saya ketika beberapa waktu yang silam para pemerhati anak, orang tua dan artis seniman mengeluhkan minimnya lagu anak-anak saat ini. Di usia dini, anak-anak justru dicekoki oleh lagu-lagu bertema cinta. Mudah ditemui, anak usia belum menginjak 5 tahun, seperti anak salah satu staf administrasi di kantor saya, sudah lanyah bernyanyi, “O, o, kamu ketahuan, pacaran lagi…”, atau “Ingatkah engkau kepada, embun pagi bersahaja…”. Mereka hapal dengan lagu-lagu milik Nidjie, Radja, atau Letto. Begitu di layar teve ada video klip salah satu artis atau group band yang lagunya mereka hapal, langsung mereka ikut berdendang sekalipun tanpa tahu arti liriknya.

Fenomena ini semakin menjadi-jadi ketika RCTI menayangkan Idola Cilik. Semua kontestan Idola Cilik menyanyikan lagu-lagu dewasa. Dengan sasaran menjaring keluarga sebagai penikmatnya, otomatis anak kecil di bawah lima tahun pun ikut menonton. Semakin lanyah dan lancarlah anak-anak balita menyanyikan lagu-lagu berkategori dewasa. Lagu anak-anak semakin langka. Lagu daerah pun semakin terlupakan.

Salah satu teori dalam ilmu epistemologi mengatakan, bayi dilahirkan dengan keadaan mental yang kosong, tabula rasa, yang kemudian diisi oleh pengalamannya di dunia ini. Maka tidak heran kalau anak kecil dengan mudahnya menyerap dan menghafalkan apa yang masuk melalui kelima panca inderanya, utamanya yang dilihat dan didengar, karena masih dalam kondisi mental yang segar. Hanya mendengar lagu tiga atau empat kali, anak kecil sudah hapal liriknya dan bisa menyanyikan. Berbeda dengan saya yang sudah kesulitan untuk menghafalkan lirik sebuah lagu meski sudah sering didengar di radio.

Kalau kondisi mental berangkat dari tabula rasa, dengan demikian, sebagai orang dewasa mestinya kita ikut bertanggung jawab pada apa yang terpupuk dalam mental dan pikiran anak-anak kita. Pendidikan yang diberikan pada anak usia dini mestilah tepat. Baikkah memperdengarkan lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu pada telinga anak kita? Sehatkah mental anak kita yang selalu tercekoki lirik yang belum mereka pahami? Dimanakah peran pemerintah dalam hal ini?

Abang tukang odong-odong menggenjot berkeliling dari gang ke gang. Sengat panas matahari tidak dihiraukannya. Dalam sehari, ia mesti mengumpulkan setidaknya 70 ribu untuk bisa hidup, karena dari angka itu, ia mesti menyetor 30 ribu ke pemilik odong-odong. Kalau saja setiap berhenti empat mainannya terisi semua, yang artinya dia mendapat 4 ribu per tiga lagu, maka paling tidak dia harus bisa menggaet 18 kali perhentian. Bisa lebih kalau hanya terisi 2 atau 3 saja. Artinya, dia mesti menggenjot selama paling sedikit 72 lagu untuk mendapatkan uang 70 ribu. Belum lagi mesti bersaing dengan tukang odong-odong lainnya. Tidak jarang setelah mengembalikan odong-odong ke pemiliknya, ia pulang dengan hanya mengantongi 20 ribu saja.

Tapi, dari keringat yang mengucur itulah abang odong-odong sudah mengajarkan pada anak-anak apa yang selama ini kurang diperhatikan oleh orang tua dan pemerintah. Dari merekalah anak-anak kembali diperkenalkan lagu yang penuh kegembiraan, keceriaan, yang khas anak-anak, mulai dari Balonku, Lihat Kebunku, sampai Diobok-obok. Dari mereka pula lagu daerah macam Dondong Opo Salak, Manuk Dadali, Kampuang Nan Jauah di Mato kembali terdengar penuh keriangan. Anak-anak kembali disegarkan dengan lagu-lagu yang memang sesuai dengan usianya. Lagu daerah yang memperkaya budaya bangsa pun sedikit demi sedikit mereka kenal. Abang odong-odong secara tidak langsung menjadi guru bagi anak-anak usia dini. Sambil bermain, diperkenalkanlah pada anak-anak lagu-lagu yang liriknya penuh keriangan dan kegembiraan.

Keceriaan Rosa dan anak-anak yang lain setelah menikmati odong-odong merupakan keriangan yang sungguh terpancar dari kepolosan bocah, keriangan yang tiada harganya. Ketika kita menatap wajah gembira anak-anak itu, akankah kita tetap tidak peduli pada masa depan mereka? Akankah kita membiarkan anak-anak kita tumbuh dewasa sebelum waktunya dan kehilangan kepolosan dan keriangan yang menggemaskan?

*) YB Riyanto, alumnus Writer Schoolen “Menulis Artikel Menarik batch 14″ ini dapat dihubungi langsung di y.briyanto@gmail.com

Sumber : http://pembelajar.com/odong-odong-dan-keceriaan-anak

0 comments:

Post a Comment